Karyawan Bukanlah Robot yang Tidak Memiliki Emosi

 

Pernahkah Anda diperhadapkan pada sebuah pilihan yang sulit? Suatu ketika Anda memenangkan undian. Anda diberikan dua pilihan. Pertama, untuk memilih rumah yang terletak di tengah kota yang padat dan macet, tetapi memiliki akses yang memudahkan Anda dan seluruh anggota keluarga berpergian ke tempat-tempat yang biasa dikunjungi. Pilihan kedua adalah rumah dengan tipe yang sama, agak jauh dari kepadatan kota dan lebih tenang, namun jarak ke tempat yang sering dikunjugi cukup jauh. Dari kedua pilihan tersebut, manakah yang Anda pilih?. Beberapa dari Anda akan lebih banyak memilih pilihan kedua, yaitu rumah yang jaraknya jauh tetapi lingkungan sekitarnya memberikan ketenangan. Hal yang mendasari pilihan tersebut adalah aspek emosi yang diperkirakan akan muncul dari dampak pilihan tersebut, atau dalam istilah psikologi dikenal dengan affective forecasting. Aspek emosi menjadi pertimbangan penting dalam suatu pengambilan keputusan dibandingkan rasionalitas. Pentingnya aspek emosi tidak hanya dalam proses pengambilan keputusan saja, tetapi juga dalam proses pelayanan. Proses interaksi dalam pelayanan bukan sekedar pertukaran ekonomi semata, antara konsumen dan penyedia layanan, tetapi juga adanya keterlibatan emosi dan pengalaman emosi diantara keduanya.

 

Masa kejayaan scientific management yang dipopulerkan oleh Taylor, menganggap karyawan seperti mesin robot yang kosong dari perasaan dan emosi. Fungsi-fungsi organisasi dianggap hanya dapat dijalankan secara logis dan teratur ketika menggunakan rasionalitas saja, sehingga aspek emosi harus diabaikan dalam dunia kerja. Padahal, emosi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perilaku manusia, karena tidak ada satupun pengalaman dalam bekerja yang tidak melibatkan aspek emosi.

 

Emosi karyawan telah menjadi minat yang berkembang dikalangan peneliti semenjak Hochschild mulai mempublikasikan bukunya yang berjudul The Managed Heart: Commercialization of Human Feeling. Buku ini memberikan pengaruh bagi peneliti lainnya untuk melakukan studi-studi empiris dalam menjelaskan pengaruh emosi terhadap perilaku organisasi. Dari beberapa penelitian empiris telah memberikan bukti bahwa emosi berperan dalam dunia kerja seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dibutuhkan kemampuan untuk melakukan manajemen emosi.

 

Contohnya, seorang karyawan call center yang berinteraksi langsung dengan konsumen dituntut untuk mengatur emosi yang ditampilkan ketika melakukan pekerjaannya. Tuntutan ini menjadi tantangan oleh para karyawan untuk senantiasa menunjukkan smiling voice meskipun sedang mendapatkan makian konsumen. Dari wawancara dan survey yang saya lakukan kepada karyawan call center, tercatat sebanyak 13 bentuk makian yang memicu karyawan kesal atau marah, beberapa diantaranya seperti respon berikut:

 

“Ga usah basa basi, ini cuma mau mengecek pelaporan yang saya buat, tidak usah pakai tanya-tanya, tidak usah tanyakan itu berulang-ulang, cek aja langsung nomor saya, liat saja laporannya, ini sebenarnya maunya apa?, menipu pelanggan?”.

 

“Kamu itu kerjanya apa?  apa di situ, duduk-duduk tidak beres kerjamu, makan gaji buta saja. Kami di sini pihak yang dirugikan, kau enak, tidak ada kerugian, Cuman digaji”. Tukang tipu, makan gaji buta”.

 

Manajemen emosi pada konteks pelayanan (service sector) telah menjadi topik yang mulai berkembang dengan istilah emotional labor. Terdapat tiga karakteristik pekerjaan yang termasuk dalam emotional labor adalah: (1) adanya tatap muka (face to face) atau suara antara karyawan dengan konsumen, (2) adanya tuntutan kerja (SOP) bagi karyawan yang melibatkan emosi, dan (3) adanya kontrol dari perusahaan yang mengatur aktivitas emosi karyawan. Karakteristik pekerjaan tersebut seringkali dijumpai pada pekerjaan yang bergerak dalam bidang pemberian jasa seperti perawat, dokter, guru, customer service, polisi, dan sebagainya.

 

Karyawan harus mampu menampilkan emosi positif (seperti emosi senang) dan menekan emosi negatif (seperti kesal) sebagai bagian dari tuntutan kerjanya. Tuntutan kerja demikian akan berdampak buruk bagi karyawan bila tidak dikelola dengan baik. Dampak seperti kelelahan emosi, burnout, rendahnya self-esteem, hingga turnover sangat rentan dialami oleh karyawan.  Perusahaan tidak boleh hanya menuntut para karyawan untuk menampilkan emosi yang ada dalam SOP, tetapi juga bagaimana menemukan strategi yang tepat dan humanis agar para karyawan bisa bekerja secara sehat dan nyaman.

Baca artikel selanjutnya: Ekspresi dalam Interaksi Pelayanan ; Tradisi Delay saat Mudik: Strategi Pemulihan Pelayanan dan Word of Mouth ; Acting mana yang Anda akan Mainkan di “Panggung Sandiwara”?