Kyoto merupakan salah satu kota di Jepang yang memiliki banyak situs sejarah dan kebudayaan. Posisi Kyoto berada di bagian selatan Prefektur Kyoto. Di kota ini, kita akan menemukan beberapa warisan sejarah Kyoto kuno yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Kunjungan saya ke Kyoto untuk mengikuti International Symposium on Education, Psychology, and Social Sciences. Menginjakkan kaki di Kyoto hanya seorang diri tanpa ditemani teman dan keluarga, tentunya menjadi pengalaman tersendiri. Tantangan yang cukup berarti ketika berada di kota ini adalah menemukan makanan yang halal. Kita harus benar-benar teliti ketika masuk ke dalam restaurant atau rumah makan dan tidak asal memesan makanan yang tersedia. Pengalaman menarik saya dapatkan ketika masuk ke dalam salah satu restaurant. Restaurant tersebut banyak menyediakan menu makanan pasta. Saat masuk dan duduk, saya dihampiri oleh pelayan, Ia memberikan senyum sumringah yang tulus, lalu membungkuk. Pelayan restaurant tersebut menanyakan kabar dan melakukan small talk, sebelum saya mulai memesan makanan. Untuk lebih amannya, saya tentu memilih makanan yang mengandung sayur-sayuran saja. Ia nampak responsif dan tahu bahwa saya membutuhkan makanan yang halal. Lalu, Ia meminta saya menunggu sebentar untuk menanyakan kepada koki di belakang. Kurang dari 5 menit, Ia kembali menghampiri saya dan membuatkan menu khusus yang tidak ada dalam daftar menu. Ia meminta persetujuan saya dan menanyakan kembali apa lagi yang saya butuhkan. Ketika makanan saya tiba, Ia berinisiatif menawarkan diri untuk mengambil foto untuk saya agar ada kenangan di restaurant ini dan akan kembali lagi katanya. Di akhir percakapan, Ia kembali tersenyum dan membungkukkan badan. Sebagai konsumen saya benar-benar merasa dihargai karena karyawan tersebut memiliki kesadaran diri yang kuat dalam melayani.

 

Tawaran difotoin yang tidak boleh dilewatkan

 

Kesadaran adalah hal yang penting. Kesadaran adalah sebuah kondisi awal yang menggerakkan individu untuk berpikir dan bertindak. Dengan kesadaran, setiap orang memahami apa yang akan dilakukan, bagaimana, dan apa dampak yang akan terjadi sehingga timbul kesiapan dalam mengantisipasi segala hambatan yang sekiranya akan dijumpai.

 

Seperti halnya pelayanan, diperlukan kesadaran dalam melayani atau yang disebut dengan service awareness. Service awareness adalah suatu sikap yang dimiliki oleh seorang karyawan jasa untuk sukses dalam memberikan pelayanan yang mengesankan kepada konsumen. Membangun service awareness karyawan tentunya dimulai dari perubahan mindset. Service awareness dapat terbangun dalam diri karyawan ketika memiliki mindset yang positif terhadap pekerjaannya. Carol Dweck dalam buku berjudul Mindset mendefinisikan sebagai sebuah pola pikir atau cara pandang seseorang untuk bertindak. Mindset terbentuk dari hasil belajar, pendidikan yang diterima, didikan keluarga, pergaulan, atau adat istiadat. Mindset adalah inti dari sebuah pembelajaran diri untuk memandang sebuah potensi maupun hambatan sebagai suatu tantangan atau peluang dengan proses terus menerus. Oleh karenanya mindset dapat berubah sesuai waktu.

                                         Ojigi

Contoh sederhana  dari service awareness yang dibentuk melalui kebiasan adat istiadat sering kali kita lihat pada orang-orang Jepang. Tradisi membungkuk atau yang dikenal dengan Ojigi. Membungkuk adalah kebiasaan yang harus dilakukan di Jepang ketika menyapa satu sama lain atau dilakukan sebelum dan sesudah percakapan kecil. Kebiasaan ini juga dilakukan para pebisnis di Jepang ketika menyapa pelanggan. Kebiasaan ini menjadi gambaran mindset orang Jepang yang senantiasa terbuka dalam melayani dan membantu orang lain, tidak hanya dalam konteks bisnis tetapi juga kehidupan sehari-hari.

 

Meskipun ini bukan budaya kita di Indonesia, namun konsep membungkuk dapat kita pakai untuk membangun service awareness. Karyawan jasa hendaknya memiliki kesadaran untuk menempatkan konsumen sebagai bagian penting dalam bisnis, bukan sebagai penganggu. Karyawan harusnya memiliki kesadaran untuk menempatkan diri “lebih rendah” dari konsumen. Kata lebih rendah yang saya berikan tanda kutip bukan berarti merendahkan diri, tetapi mengandung arti merendahkan hati. Ego individualis karyawan harus ditempatkan lebih rendah, dibandingkan kepentingan konsumen. Bersikap membuka diri dan tidak merasa paling sok tahu kepada konsumen, terlebih lagi tidak ingin menang sendiri.  Karenanya, kunci dalam melayani dengan tulus adalah kemauan untuk merendahkan hati dan bukan untuk merendahkan diri.

 

Pada hakikatnya, dalam kehidupan sehari-hari kita diciptakan oleh Tuhan YME untuk melayani orang lain. Entah bagi pasangan kita, orang tua kita, anak-anak kita, tetangga kita, teman, tetangga, bahkan orang yang tidak kita kenali sebelumnya. Namun, seringkali kita lebih meninggikan hati (sok) kepada orang-orang yang membutuhkan kehadiran kita. Padahal, ketika kita sadar bahwa untuk memudah urusan kita sendiri, maka terlebih dahulu rendahkan hati kita untuk memudahkan urusan orang lain.

 

Baca juga :Ekspresi dalam Interaksi PelayananKaryawan Bukanlah Robot yang Tidak Memiliki Emosi ; Acting mana yang Anda akan Mainkan di “Panggung Sandiwara”?