Acting mana yang Anda akan Mainkan di “Panggung Sandiwara”?

Ingatkah Anda lirik lagu panggung sandiwara yang dipopulerkan oleh Nicky Astria?.

“Dunia ini panggung sandiwara,

Cerita yang mudah berubah

Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani

Setiap kita dapat satu peranan

Yang harus kita mainkan

Ada peran wajar ada peran berpura-pura

Mengapa kita bersandiwara……….”

 

Panggung sandiwara layaknya sebuah proses pelayanan. Karyawan jasa dituntut untuk membaca script yang tertuang dalam standar operasional procedure (SOP). Penerapan SOP berdampak pada emosi yang nampak bukan merupakan emosi pribadi namun emosi publik yang dikontrol secara formal. Seorang perawat dituntut untuk menampilkan emosi yang hangat, peduli dan memberikan kenyaman kepada pasien. Namun disisi lain harus menyembunyikan emosi negatif seperti rasa jijik terhadap kondisi pasien. Termasuk menyembunyikan wajah marah ketika bertemu dengan pasien yang sulit diatur. Karyawan frontline diharapkan untuk menampilkan emosi senang dan bahagia. Menekan rasa marah atau kesal ketika berinteraksi dengan konsumen untuk mengikuti harapan perusahaan. Para pramugari dan pramugara harus menampilkan emosi tenang dan intonasi suara yang monoton kepada penumpang. Meskipun berada pada kondisi penerbangan yang tidak stabil.

           

Surface Acting versus Deep Acting

 

Fenomena yang terjadi bahwa tiap karyawan akan menampilkan strategi regulasi emosi yang berbeda-beda dalam interaksi pelayanan. Dalam memenuhi aturan pelayanan untuk menampilkan emosi kepada konsumen, karyawan cenderung melakukan manajemen emosi dalam dua bentuk strategi yakni surface acting dan deep acting.

 

Surface acting yakni proses memodifikasi perilaku yang tampak, namun tidak sesuai dengan emosi yang dirasakan. Surface acting dapat berupa seni dalam menaikkan alis dan meninggikan senyuman. Perilaku karyawan tidak benar-benar tulus dalam melayani, namun seolah-olah tampak demikian. Karyawan yang menggunakan tipe acting ini akan cenderung mengikuti SOP secara kaku. Sebaliknya,  deep acting yakni proses merubah emosi dan perasaan karyawan untuk menunjukkan emosi yang diinginkan oleh perusahaan. Deep acting muncul tidak hanya melalui penampilan ekspresi fisik, tetapi juga internal emosi yang dirasakan. Karyawan nampak luwes dalam berinteraksi dengan konsumen, menampilkan senyum yang tulus, dan memunculkan emosi positif. Karyawan yang menggunakan tipe deep acting ini tetap mengikuti harapan perusahaan sebagai pemberi layanan yang tertuang dalam SOP, namun dapat dengan fleksibel dan otonomi menjalankannya.

 

Lalu, acting mana yang karyawan akan mainkan di “panggung sandiwara” sebagai pemberi layanan?. Alicia Grandey, pakar di bidang Psikologi Industri dan Organisasi meneliti tentang dampak dari karyawan yang menerapkan SOP pelayanan dengan sangat kaku, dibandingkan dengan karyawan yang menjalankan pelayanan secara otonomi. Karyawan pada kelompok SOP yang kaku diminta untuk melayani konsumen sesuai dengan script secara ketat, tidak boleh ada yang dimodifikasi. Sedangkan karyawan pada kelompok otonomi diminta untuk memahami SOP lalu diberikan kebebasan untuk menjalankan pelayanan secara bebas. Hasil penelitian Alicia Grandey ini membuktikan bahwa karyawan yang menjalankan proses pelayanan secara otonomi akan lebih menikmati dan lebih luwes dalam menjalankan perannya. Sebaliknya karyawan yang terpatok pada SOP semata, akan lebih merasa tertekan dan nampak kaku menjalankan peran. Tentunya hal ini berdampak buruk bagi psikologi karyawan.

 

Deep acting  juga berdampak positif tidak hanya bagi konsumen tetapi juga bagi kepuasan konsumen. Ini terbukti pada hasil eksperimen yang dilakukan Riskah Amalia bersama saya, dengan menggunakan video kepada 100 konsumen, menunjukkan bahwa karyawan yang menampilkan pelayanan dengan menggunakan strategi deep acting akan lebih tinggi menilai kepuasan terhadap layanan yang dirasakan, dibandingkan karyawan yang menggunakan strategi surface acting. Konsumen menilai karyawan yang menggunakan deep acting lebih responsif dan empati dalam memahami kebutuhan mereka.  Selain itu, konsumen juga menilai bahwa hubungan yang terbangun dengan karyawan (customer-employee rapport) lebih baik dibandingkan pada konsumen yang mendapatkan pelayanan surface acting. Konsumen merasa nyaman dan terbangun kehangatan hubungan dalam proses pelayanan dengan karyawan yang melakukan deep acting, dibandingkan karyawan yang hanya menampilkan surface acting.

 

Acting yang dijalankan oleh karyawan tidak hanya berdampak terhadap konsumen semata, tetapi juga memiliki dampak bagi karyawan sendiri. Karyawan yang melakukan pelayanan dengan menggunakan surface acting akan lebih tinggi merasakan kelelahan emosi karena berusaha menutupi inkonsistensi antara ekspresi dan emosi yang dirasakan. Sebaliknya, karyawan yang menggunakan deep acting nampak luwes dan tidak terbebani dalam memberikan pelayanan maupun ketika menghadapi keluhan dari konsumen. Studi-studi psikologi lain juga melaporkan bahwa secara jelas telah ditemukan hasil empiris yang membuktikan dampak dari surface acting bagi karyawan yakni: keluhan fisik, rendahnya self-esteem, turn over, dan ketidakpuasan kerja.

 

Profesi pemberi layanan (customer service, teller, sales, marketing & frontliner) dianggap sebagai posisi yang kecil dalam perusahaan, karena banyak orang yang belum menganggap bahwa pelayanan adalah strategi dalam memenangkan persaingan bisnis. Ini adalah sebuah profesi khusus karena tidak semua orang bisa memainkan peran ketika berinteraksi dengan konsumen. Melayani bukan sekedar menjalankan prosedur pelayanan yang ada dalam SOP secara kata per kata, namun melayani adalah responsif dalam memenuhi kebutuhan konsumen secara tulus dari hati.

 

Baca selanjutnya artikel terkait: Strategi Pemulihan Pelayanan dan Word of Mouth